NEW MEDIA, NEW IDENTITY

Rabu, 16 Februari 2011
PENDAHULUAN
           Hidup dalam lingkaran dunia multimedia, seperti sekarang, menyuguhkan suatu yang baru pada setiap detiknya, sehingga tak heran jika banyak memunculkan harapan pada setiap “penggila”nya dari fitur-fitur yang diciptakan. Kata teknologi seperti tak terpisahkan bagi siapa saja yang menjalankan hidup multidemensi. Semakin sulit untuk mengidentifikasi jenis komunikasi yang berlangsung, apakah intrapersonal, interpersonal, kelompok, atau massa, ketika teknologi melebur bersama individu. Terkait dengan penyuguhan fitur-fitur multimedia, peran new media dalam kehidupan masyarakat konvergensi menjadi sangat “renyah” untuk dicari dan dikonsumsi secara massa.
           Individu merupakan suatu sosok yang telahir sebagai seseorang yang memulai dengan tidak mengenal dirinya sampai menemukan “self” yang diasumsikan bagian dari dirinya dan merupakan jati diri atau identitasnya. Dalam proses pencarian ini, setiap orang melaluinya dengan hal yang tidak sama satu sama lain bahkan dapat berbeda sama sekali dengan kelompoknya. Salah satu cara yang digunakan untuk menemukan identitas ini, sekarang, adalah menggunakan new media. Perkembangannya yang pesat, memungkinkan setiap orang untuk menggunakan dan menjadikannya sebagai alat untuk membentuk, menyebarkan, dan memperkenalkan diri atau “identitas”nya.
           Tidak hanya hilangnya keterbatasan yang disediakan oleh new media, yang lebih banyak dicari kemudian adalah identitas baru yang diberikan. New media layaknya sebuah pabrik di mana setiap individu dapat membuat, merakit, membentuk, menciptakan bahkan merubah suatu yang diinginkannya sebagai bentuk dari identitas yang ingin ditunjukkan kepada orang lain. Walaupun identitas ini dapat berupa “nyata” atau “semu”, sangat menarik untuk diteliti bahwa bagaimana seorang yang dalam kehidupan “real” harus melewati proses panjang dari seleksi untuk menemukan identitasnya, akan tetapi dengan bantuan new media seorang dapat dengan mudahnya mendapatkan new identity yang diinginkan dan diperkenalkan kepada khalayak luas. Jadi bagaimana seorang dapat dengan mudah mendapatkan new identity melaui new media?

INDENTITAS
           Wacana identitas, dalam masyarakat kontemporer, menjadi suatu bagian dalam individu yang menarik untuk diperhatikan dan diteliti ketika keberadaannya dipertalikan dengan masyarakat virtual. Kita mungkin masih ingat di Indoensia, bagaimana Sinta dan Jojo dapat dengan mudah mendapat identitas barunya melalui pertunjukkan mereka di youtube, dan yang sekarang lagi menjadi sorotan dunia adalah Julian Assange yang menjadi terkenal dengan situs wikileaks yang dibuatnya. Ya, walaupun identitas yang mereka dapatkan tidak terlepas dari dukungan media massa seperti televisi, radio ataupun melalui surat kabar, akan tetapi yang menjadi menarik adalah bagaimana dengan mudah identitas seseorang berubah dan tercipta, terlepas itu baik atau buruk.
           Dahulu, identitas merupakan sesuatu yang cenderung bersifat stabil dalam arti kokoh yang merupakan bentuk dari fungsi sosial yang dijalankan oleh suatu masyarakat. Individu mulai dari lahir dan sampai dia meninggalkan dunia ini membawa identitas yang telah diberikan kepadanya. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan sekarang, identitas lebih bisa bergerak aktif, dalam arti dapat dengan mudah hilang dan dibentuk oleh seorang yang menginginkannya.
             Identitas ternyata tidak hanya diberkaitan dengan “kepemilikan” dalam diri individu, melainkan juga sangat bergantung pada daerah sosial yang mengakui atau menolaknya. Mengingat pentingnya suatu identitas sosial, maka Henri Tajfel dalam Richard West (218: 2008) mengemukakan Social Identity Theory, yang menyatakan bahwa identitas sosial seorang ditentukan oleh kelompok di mana ia tergabung. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa dunia sosial yang di dalamnya terdapat banyak varian individu yang biasa kita sebut sebagai masyarakat merupakan “pengadilan” yang dapat menilai dan memutuskan identitas individu.

SILIH HILANG-BERGANTINYA IDENTITAS

           Konsep Identitas yang “tak lengkang oleh waktu” seakan sirna dan tidak berlaku lagi, melainkan berganti konsep dengan “silih-berganti” dalam diri individu. Seorang dengan mudah untuk membuang jauh-jauh identitas lamanya dan membuat ulang identitas baru yang diinginkannya. Terdapat suatu ketidakstabilan dan kerapuhan yang menyelimuti identitas dalam masyarakat modern, Kellner (318, 2010). Sehingga membuat siapa saja “berkompetisi” untuk meraih dan mendapatkan pelabelan identitas yang melekat dengannya.
           Dalam konteks Indonesia, identitas menjadi alat yang jitu untuk menunjukkan keeksistensiannya dalam masyarakat konvergensi. Pesatnya derap teknologi media semakin menjadikan individu dalam kelabilan yang setiap saat dapat mengalami unconsciusness, menjadikan ekspektasi mereka menjadi-jadi dan terkadang tidak terkontrol. Ekspektasi akan adanya suatu tanda yang melekat pada diri individu sehingga menjadikan mereka diakui dan diterima oleh masyarakat luas.
           Fromm (260: 1997) menulis, bahwa ketika seorang kehilangan identitas, memaksanya untuk lebih menyesuaikan diri terhadap orang lain. Seseorang melihat apa yang diinginkan masyakarakat sehingga terbentuk mutual recognition, seperti yang disebutkan G.H. Mead dalam Kellner (315: 2010), yang seakan-akan adanya ketergantungan pada pengakuan orang lain. Sehingga tidak heran jika dalam masyarakat modern lebih memilih apa yang ia “kenakan” dari pada apa yang menjadi dirinya sendiri. Ada suatu kecemasan yang mendasar dalam diri masyarakat modern, kecemasan akan suatu keyakinan mengenai pilihan apakah ia telah memilih identitas yang cocok buat dirinya sendiri, terlebih buat lingkungan sekitarnya.

MANUSIA PENCARI INDENTITAS
           Jika kita melihat identitas secara tradisional, ia merupakan bagian dari kelompok, suku, atau semua yang bersifat kolektifisme, sementara itu dalam modernitas, identitas lebih menfokuskan pada diri individu yang unik dan senantiasa berubah serta berkembang. Pencarian identitas yang “sejati” memakan waktu dan tempat bagi setiap individu apalagi jika dihubungkan dengan gaya dan citra diri. “Kehausan” akan identitas menjadikan manusia terlahir kembali untuk merubah apa yang di”kenakan”nya sekarang, akibatnya, perubahan akan dirinya tidak bisa ditahan dan dimulailah pencarian “harta karun” yang berupa identitas.
            Identitas seorang dapat ketinggalan zaman, sia-sia, atau tidak sah lagi secara sosial, Kellner (317: 2010), akibatnya timbulnya anomali yang membuat orang terasing secara sosial sehingga membuat ia harus mencari sesuatu yang membuatnya diakui dan diterima. Salah satu cara tersebut adalah dengan membuang jauh-jauh identitas lama dan membentuk suatu identitas baru.
            Ketika beberagaman masyarakat menjadi semakin marak, maka isu identitas menjadi semakin penting pula sehubungan dengan ciri atau karakteristik yang khusus. Terdapat semacam kebutuhan psikologis manusia yang harus terpenuhi dan tercapai, tanpa hal tersebut seakan kehampaan hidup menjadi momok yang menakutkan. Identitas merupakan kuncinya, kunci sebagai pembuka gerbang sebuah kehidupan baru dalam sosialisasi dengan masyarakat dunia. Tak mengenal jenis profesi, jabatan, status keluarga apa yang telah ia punya, identitas menjadi esensi yang dicari dan diburu walaupun hal tersebut bertolak belakang dengan kehidupan nyata yang ia jalani.

REDEFINISI IDENTITAS
           Ada suatu kepentingan kita untuk mendefinisikan ulang apa yang kita maksud dengan identitas. Dahulu, identitas dibentuk oleh siapa kita dan perbuatan apa yang telah kita lakukan, sekarang definisi tersebut harus ditinjau ulang dan cermati dengan seksama, karena identitas ternyata tidak statis melainkan bersifat dinamis dalam arti mudah untuk hilang dan berubah. Telah terjadi suatu revolusi yang sangat besar jika kita melihat perkembangannya sekarang, bagaimana seorang dapat dengan mudah mengkonstruksi ulang apa yang telah dilabelkan oleh masyarakat pada dirinya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Kellner (354: 2010), bahwa sekarang yang menentukan identitas Anda adalah bagaimana penampilan Anda, citra Anda, dan bagaimana Anda terlihat.
            Setiap individu selalu ingin dirinya terlihat sama atau berbeda dengan orang lain dengan berbagai motif dan tujuan yang dimiliki. Terlepas dari tujuan yang dimiliki individu tersebut, sangat jelas kesemuanya itu mengarahkan pada tuntutan akan ada identitas yang hadir dalam diri individu. Weeks dalam Barker (172: 2004), mengatakan bahwa  identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain. Sehingga tidak mengherankan jika pendefinisian ulang identitas menjadi suatu yang penting untuk meyelami ranah sosial yang ada sekarang.
            Tuntutan individu dan sosial yang mengarah pada masyarakat virtual menjadi tema sentral dan menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Ketika media tidak hanya menjadikan dirinya sebagai alat sebagai penghubung antara komunikator dan komunikan, lebih sebagai bagian dari individu yang tak terpisahkan yaitu di mana menjadikannya sebagai pencapaian suatu identitas baru. Media tersebut adalah new media.

NEW MEDIA
            Internet, mungkin kata tersebut, secara sederhana, yang pantas untuk menafsirkan new media. Terdengar tidak asing bagi kita, setiap hari bahkan setiap detiknya dapat dengan mudah kita mengaksesnya dengan berbagai gadget yang tersedia, baik itu melalui warnet, hotspot, modem bahkan handphone yang sehari-hari kita bawa. Mungkin ini juga yang maksud oleh Baran dan Davis (10: 2000) sebagai mediated communication yaitu suatu bentuk komunikasi diatara beberapa atau banyak orang dengan memanfaatkan suatu teknologi sebagai medium. Tidak mengenal tempat dan waktu, selagi mendapatkan koneksi internet, kita dapat dengan mudah untuk mendapatkan fasilitas yang diberikan, mulai dari browsing data, menulis blog, meng-update status kita di facebook atau twitter bahkan hanya untuk sekedar mengomentari tulisan orang lain.
            Dengan kelebihan yang dimilikinya, Internet merupakan suatu bentuk dari media baru yang sangat berbeda dengan media tradisonal, seperti televisi, surat kabar dan radio. Metzger dalam Nabi dan Oliver (562: 2009), menyebutkan paling tidak terdapat tujuh perbedaannya, yaitu interaktivitas, keberagaman isi, pengontrolan dan penyeleksian pemakai, konvergensi media, struktur dan organisasi informasi, dan jangkauan yang global. Sedangkang McQuail (138-139: 2005), melihat terdapat tiga perbedaan umum yang terjadi antara new media dan media traditional jika dilihat dari sudut pandang peraturan dan hubungan yang terjadi, yaitu penulis (authors), penerbit (publisher), dan pemakai (audience).

MEDIA GILA dan GILA MEDIA
            Euforia masyarakat akan internet mejadi semakin besar dalam kehidupan sosial seiring dengan banyaknya harapan-harapan yang ingin dicapai. Banyaknya permintaan ini membuat new media seakan semakin mencambuk dirinya untuk berkompetisi meraih perhatian dari audience sehingga membuat new media “gila” untuk selalu berinovasi.
             Beragamnya inovasi yang diciptakan seolah menjawab semua permintaan yang diminta oleh khalayak luas, mulai dari google yang hampir bisa dikatakan dapat memberikan seluruh informasi yang kita inginkan, youtube yang menfasilitasi orang untuk menunjukkan ekspresinya atau sekedar “narsis”, blogger yang menyediakan kita untuk mencurahkan isi pikiran dan hati kita, facebook dan twitter yang menyediakan ruang sosial bagi yang sulit untuk bersosialisasi langsung kepada masyarkat actual, sampai pada berbagai website yang menyediakan lagu-lagu kesukaan kita. Kesemuanya itu disediakan oleh new media untuk memuaskan penggunanya sehingga terjadi mutualisme yang sama-sama menguntungkan.
             Media yang “gila” ternyata membuat penggunanya (audience) juga menjadi “gila” media. Kita mungkin pernah mengalami diabaikan atau dalam istilah sekarang di”cuekin” oleh teman yang kita ajak bicara, hanya karena ia ingin melihat status facebook-nya lewat handphone yang dikomentari orang. Mungkin juga kita terbiasa dari pengalaman pribadi atau melihat orang lain tertawa sendiri ketika melihat video di youtube, sungguh betapa new media telah menjadikan diri kita “gila” dengan berbagai fitur yang ditawarkan.

HILANGNYA BATAS KOMUNIKASI
             Beragamnya informasi yang menerpa kita melalui new media seakan menghilangkan batasan komunikasi antara komunikator dan komunikan. New media menjadikan percakapan yang kita inginkan menjadi sangat mungkin dari dan untuk siapa saja, baik itu one-to-one (satu orang ke satu orang) , one to few (satu orang kebeberapa orang), one to many (satu orang kebanyak orang), dan many to many (banyak orang ke banyak orang), Metzger dalam Nabi dan Oliver (564: 2009); McQuail (138: 2005).
              Betapa komunikasi sangat mudah untuk dicapai, hanya dengan skype atau Yahoo Messenger bahkan hanya menggunakan handphone yang telah menggunakan teknologi 3G orang dapat berhubungan secara tatap muka secara “langsung” walaupun berada dalam jarak yang sangat jauh. Hal inilah yang mejadikan seolah batas komunikasi menjadi hilang dan tidak pernah ada. Bagaimanapun juga, hadirnya new media dengan berbagai kritik terhadapnya, ternyata membawa dampak bagi individu di dalam dunia sosial yang pernah ada sebelumnya.

NEW IDENTITY in NEW MEDIA
             Ketika masyarakat modern mengalami ketidakpastian, kebimbangan dan kegalauan akan siapa dirinya, new media datang membawa secercah harapan dengan menawarkan suatu bentuk self yaitu new identity. Suatu identitas yang baru dan menarik untuk menjadikannya sebagai label individu dalam suatu masyarakat actual maupun virtual. Sebuah lingkungan baru, new media, dimana setiap individu dapat diterima dengan tangan terbuka dan bebas untuk mengeksplorasi dirinya dengan kemampuan apa saja yang dimilikinya.

LAHIRNYA NEW IDENTITY
             Munculnya kesadaran diri (self-consciousness) akan peran sosial yang harus dijalankan dan seiring hadirnya new media dengan konvergensi media yang dibawa, menjadikan sebuah sinergi “menu” yang komplit guna melahirkan sebuah identitas baru. Dengan new media seorang dapat menjadikan dirinya bagai seorang yang baru terlahir kembali, dan dengan komunikasi online memungkinkan individu untuk merekonstrusi ulang identitasnya, Sherry Turkle dalam Lister dkk (211: 2009), seperti yang ia inginkan.
            Dalam kehidupan sosial yang sebenarnya seorang yang pendiam dan tidak pandai dalam berkomunikasi secara interpersonal maupun kelompok, bisa menjadi seorang aktif dengan menunjukkan identitas sebagai seorang yang pandai dan bergaya, serta sebaliknya, melalui new media dengan berbagai ruang sosial yang disediakan. Walaupun banyak orang yang mengatakan bahwa identitas baru ini merupakan suatu yang semu, akan tetapi Kennedy dalam Lister, dkk (217: 2009) beragumen bahwa sering adanya suatu keberlangsungan identitas yang dibawa dari lingkugan online ke lingkuangan yang offline (real life), dan berlanjutnya pada komunikasi interpersonal, McQuail (148: 2005). 
              Untuk menunjukkan keeksistensian new identity dalam new media, terkadang mendorong orang untuk melakukan suatu keunikan yang bisa disebut “narsis” sehingga menjadi daya tarik orang untuk memperhatikan atau hanya melihat sekilas bentuk identitas yang ditampilkan. Keberadaan new media, seperti yang dikatakan McQuail (149: 2005), memungkinkan juga adanya pembentukan norma dan peraturan tidak tertulis yang diciptakan perorangan atau kelompok, guna menghasilkan suatu karakteristik yang menjadi identitas sebagai bentuk representasi yang dapat dikenali orang lain dan kita sendiri, Barker (170: 2004).
               Perlu perhatikan bahwa, sering kali masyarakat luas mengenal new identity yang diciptakan tidak serta merta berkat dari identitas yang kita perkenalkan lewat new media saja, akan tetapi banyak adanya new identity di internet menjadi terkenal setelah dibantu oleh media massa yang lain, seperti TV, radio dan surat kabar. Sebagai contoh beberapa kasus yang tidak asing lagi bagi kita adalah kasus Prita, Lagu Keong Racun, Julian Assange dan masih banyak lagi. Diakuinya new identity melalui bantuan media massa lain, lebih karena disebabkan faktor geografis masyarakat dan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki sehingga hanya dengan bantuan media massa lama, seperti TV, radio dan surat kabar, sajalah new identity dalam new media dapat terkenal dan diakui oleh khlayak luas.

IDENTITAS MASA DEPAN

             “Identity can be ‘constructed’ in cyberspace or virtual worlds”, Lister, dkk (270: 2009), mungkin kalimat tersebut dapat menggambarkan kepada kita bahwa hidup digital memang sangat dimungkinkan, terlepas apakah baik atau buruk, di mana seorang dapat membuat identitasnya sedemikian rupa menurut apa yang dikehendaki tanpa adanya paksaan dari luar dirinya. Identitas yang dapat dimaknai melalui tanda selera, keyakinan, sikap dan suatu gaya hidup. 
              Tidak mengenal dari mana identitas tersebut diciptakan, dalam new media atau real world, ternyata tidak bisa lepas dari sifat sosial yang menyertainya. Dalam arti, identitas tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya suatu pengakuan sosial, baik secara virtual maupun actual, yaitu suatu pengakuan individu-individu lain yang menilai dan memperhatikan identitas yang kita ciptakan. Oleh karena itu, Kellner (317: 2010) menyebutkan bahwa dalam modernitas, masalah identitas berakar pada bagaimana kita membentuk, merasa, menginterpretasikan, dan menampilkan diri kepada diri kita dan orang lain.
               Suatu bentuk alternatif dari ketidakpastian self, new indentity hadir sebagai pilihan bagi beberapa orang yang melihat cyberspace merupakan new environment yang berguna untuk bersosialisasi sebagai makhluk sosial dengan menggunakan fasilitas new media yang disediakan. Sehingga akhirnya, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kebaradaan new media membantu seseorang untuk melahirkan new identity  yang ia inginkan.

PENUTUP
             Sangat menarik perhatian, ketika permasalahan identitas dihubungkan dengan tema sentral masyarakat sekarang yaitu new media. Melalui new media, identitas menjadi suatu yang dicari, dirubah, dibentuk dan disebarkan sehingga membentuk sebuah new identity. Konsep identitas menjadi berubah, yang dahulu cenderung bersifat tetap, kini layaknya konsep air yang dapat berubah-ubah setiap waktu tergantung tempatnya. Akan tetapi, peran identitas yang disandang oleh individu terkadang baru dianggap penting ketika peran tersebut dibawa ke ranah publik, tanpa adanya peran publik, baik itu real public atau virtual public, new identity yang dibentuk melalui new media tidak menjadi new identity yang berarti.
              Ada suatu keperluan perhatian yang mendasar dalam perkembangan media massa kontemporer saat ini, bahwa usangnya identitas yang dimiliki setiap individu menjadikan new media sebagai tempat yang cocok untuk mengolah dan membentuk ulang kualitas personal sehingga menghasilkan new identity. Identitas baru yang membuat seorang menjadi nyaman dan aman dalam melakukan segala aktivitas dan bentuk komunikasi di lingkungannya. Suatu lingkungan yang menyambut dengan kebebasan dalam berekspresi dan menunjukkan bakat yang dimiliki individu, yaitu lingkungan new media.
             Munculnya new identity melalui new media, ibarat sekelompok orang yang berlomba-lomba untuk melepaskan sebagian atau bahkan seluruh pakaian yang telah usang dari badannya, menggantinya dengan pakaian baru yang lebih fashionable dan dirancang oleh para designer handal. Lalu, apakah kita tertarik untuk membuka pakaian juga?
* * *
rosihan ahmad

DAFTAR PUSTAKA
  • Baran, Stanley J. And Davis, Dennis K. Mass Comunication Theory: Fondation, Ferment and Future. Second Edition. Wadsworth: 2000.
  • Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
  • Fromm, Erich. Lari Dari Kebebasan. Penerjemah: Kamdani. Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1997.
  • Kellner, Douglas. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara Modern dan Postmodern. Penerjemah: Galih Bondan Rambatan. Yogyakarta, Jalasutra: 2010.

  • Lister, Martin. Dovey, Jon. Giddings, Seth. Grant, Iain. Kelly, Kieran. New Media: a critical introduction. Second Edition. Routledge. New York: 2009.
  • McQuail, Danis. McQuali’s Mass Communication Theory. SAGE Publication. 2005
  • Nabi, L. Robin. Oliver, Beth, Mary. Media Processes and Effects. SAGE Publications. 2009.
  •  West, Ricard. Turner, J. H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Penerjemah: Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta, Salemba Humanika: 2008.

0 komentar:

Posting Komentar