0 NEW MEDIA, NEW IDENTITY

Rabu, 16 Februari 2011
PENDAHULUAN
           Hidup dalam lingkaran dunia multimedia, seperti sekarang, menyuguhkan suatu yang baru pada setiap detiknya, sehingga tak heran jika banyak memunculkan harapan pada setiap “penggila”nya dari fitur-fitur yang diciptakan. Kata teknologi seperti tak terpisahkan bagi siapa saja yang menjalankan hidup multidemensi. Semakin sulit untuk mengidentifikasi jenis komunikasi yang berlangsung, apakah intrapersonal, interpersonal, kelompok, atau massa, ketika teknologi melebur bersama individu. Terkait dengan penyuguhan fitur-fitur multimedia, peran new media dalam kehidupan masyarakat konvergensi menjadi sangat “renyah” untuk dicari dan dikonsumsi secara massa.
           Individu merupakan suatu sosok yang telahir sebagai seseorang yang memulai dengan tidak mengenal dirinya sampai menemukan “self” yang diasumsikan bagian dari dirinya dan merupakan jati diri atau identitasnya. Dalam proses pencarian ini, setiap orang melaluinya dengan hal yang tidak sama satu sama lain bahkan dapat berbeda sama sekali dengan kelompoknya. Salah satu cara yang digunakan untuk menemukan identitas ini, sekarang, adalah menggunakan new media. Perkembangannya yang pesat, memungkinkan setiap orang untuk menggunakan dan menjadikannya sebagai alat untuk membentuk, menyebarkan, dan memperkenalkan diri atau “identitas”nya.
           Tidak hanya hilangnya keterbatasan yang disediakan oleh new media, yang lebih banyak dicari kemudian adalah identitas baru yang diberikan. New media layaknya sebuah pabrik di mana setiap individu dapat membuat, merakit, membentuk, menciptakan bahkan merubah suatu yang diinginkannya sebagai bentuk dari identitas yang ingin ditunjukkan kepada orang lain. Walaupun identitas ini dapat berupa “nyata” atau “semu”, sangat menarik untuk diteliti bahwa bagaimana seorang yang dalam kehidupan “real” harus melewati proses panjang dari seleksi untuk menemukan identitasnya, akan tetapi dengan bantuan new media seorang dapat dengan mudahnya mendapatkan new identity yang diinginkan dan diperkenalkan kepada khalayak luas. Jadi bagaimana seorang dapat dengan mudah mendapatkan new identity melaui new media?

INDENTITAS
           Wacana identitas, dalam masyarakat kontemporer, menjadi suatu bagian dalam individu yang menarik untuk diperhatikan dan diteliti ketika keberadaannya dipertalikan dengan masyarakat virtual. Kita mungkin masih ingat di Indoensia, bagaimana Sinta dan Jojo dapat dengan mudah mendapat identitas barunya melalui pertunjukkan mereka di youtube, dan yang sekarang lagi menjadi sorotan dunia adalah Julian Assange yang menjadi terkenal dengan situs wikileaks yang dibuatnya. Ya, walaupun identitas yang mereka dapatkan tidak terlepas dari dukungan media massa seperti televisi, radio ataupun melalui surat kabar, akan tetapi yang menjadi menarik adalah bagaimana dengan mudah identitas seseorang berubah dan tercipta, terlepas itu baik atau buruk.
           Dahulu, identitas merupakan sesuatu yang cenderung bersifat stabil dalam arti kokoh yang merupakan bentuk dari fungsi sosial yang dijalankan oleh suatu masyarakat. Individu mulai dari lahir dan sampai dia meninggalkan dunia ini membawa identitas yang telah diberikan kepadanya. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan sekarang, identitas lebih bisa bergerak aktif, dalam arti dapat dengan mudah hilang dan dibentuk oleh seorang yang menginginkannya.
             Identitas ternyata tidak hanya diberkaitan dengan “kepemilikan” dalam diri individu, melainkan juga sangat bergantung pada daerah sosial yang mengakui atau menolaknya. Mengingat pentingnya suatu identitas sosial, maka Henri Tajfel dalam Richard West (218: 2008) mengemukakan Social Identity Theory, yang menyatakan bahwa identitas sosial seorang ditentukan oleh kelompok di mana ia tergabung. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa dunia sosial yang di dalamnya terdapat banyak varian individu yang biasa kita sebut sebagai masyarakat merupakan “pengadilan” yang dapat menilai dan memutuskan identitas individu.

SILIH HILANG-BERGANTINYA IDENTITAS

           Konsep Identitas yang “tak lengkang oleh waktu” seakan sirna dan tidak berlaku lagi, melainkan berganti konsep dengan “silih-berganti” dalam diri individu. Seorang dengan mudah untuk membuang jauh-jauh identitas lamanya dan membuat ulang identitas baru yang diinginkannya. Terdapat suatu ketidakstabilan dan kerapuhan yang menyelimuti identitas dalam masyarakat modern, Kellner (318, 2010). Sehingga membuat siapa saja “berkompetisi” untuk meraih dan mendapatkan pelabelan identitas yang melekat dengannya.
           Dalam konteks Indonesia, identitas menjadi alat yang jitu untuk menunjukkan keeksistensiannya dalam masyarakat konvergensi. Pesatnya derap teknologi media semakin menjadikan individu dalam kelabilan yang setiap saat dapat mengalami unconsciusness, menjadikan ekspektasi mereka menjadi-jadi dan terkadang tidak terkontrol. Ekspektasi akan adanya suatu tanda yang melekat pada diri individu sehingga menjadikan mereka diakui dan diterima oleh masyarakat luas.
           Fromm (260: 1997) menulis, bahwa ketika seorang kehilangan identitas, memaksanya untuk lebih menyesuaikan diri terhadap orang lain. Seseorang melihat apa yang diinginkan masyakarakat sehingga terbentuk mutual recognition, seperti yang disebutkan G.H. Mead dalam Kellner (315: 2010), yang seakan-akan adanya ketergantungan pada pengakuan orang lain. Sehingga tidak heran jika dalam masyarakat modern lebih memilih apa yang ia “kenakan” dari pada apa yang menjadi dirinya sendiri. Ada suatu kecemasan yang mendasar dalam diri masyarakat modern, kecemasan akan suatu keyakinan mengenai pilihan apakah ia telah memilih identitas yang cocok buat dirinya sendiri, terlebih buat lingkungan sekitarnya.

MANUSIA PENCARI INDENTITAS
           Jika kita melihat identitas secara tradisional, ia merupakan bagian dari kelompok, suku, atau semua yang bersifat kolektifisme, sementara itu dalam modernitas, identitas lebih menfokuskan pada diri individu yang unik dan senantiasa berubah serta berkembang. Pencarian identitas yang “sejati” memakan waktu dan tempat bagi setiap individu apalagi jika dihubungkan dengan gaya dan citra diri. “Kehausan” akan identitas menjadikan manusia terlahir kembali untuk merubah apa yang di”kenakan”nya sekarang, akibatnya, perubahan akan dirinya tidak bisa ditahan dan dimulailah pencarian “harta karun” yang berupa identitas.
            Identitas seorang dapat ketinggalan zaman, sia-sia, atau tidak sah lagi secara sosial, Kellner (317: 2010), akibatnya timbulnya anomali yang membuat orang terasing secara sosial sehingga membuat ia harus mencari sesuatu yang membuatnya diakui dan diterima. Salah satu cara tersebut adalah dengan membuang jauh-jauh identitas lama dan membentuk suatu identitas baru.
            Ketika beberagaman masyarakat menjadi semakin marak, maka isu identitas menjadi semakin penting pula sehubungan dengan ciri atau karakteristik yang khusus. Terdapat semacam kebutuhan psikologis manusia yang harus terpenuhi dan tercapai, tanpa hal tersebut seakan kehampaan hidup menjadi momok yang menakutkan. Identitas merupakan kuncinya, kunci sebagai pembuka gerbang sebuah kehidupan baru dalam sosialisasi dengan masyarakat dunia. Tak mengenal jenis profesi, jabatan, status keluarga apa yang telah ia punya, identitas menjadi esensi yang dicari dan diburu walaupun hal tersebut bertolak belakang dengan kehidupan nyata yang ia jalani.

REDEFINISI IDENTITAS
           Ada suatu kepentingan kita untuk mendefinisikan ulang apa yang kita maksud dengan identitas. Dahulu, identitas dibentuk oleh siapa kita dan perbuatan apa yang telah kita lakukan, sekarang definisi tersebut harus ditinjau ulang dan cermati dengan seksama, karena identitas ternyata tidak statis melainkan bersifat dinamis dalam arti mudah untuk hilang dan berubah. Telah terjadi suatu revolusi yang sangat besar jika kita melihat perkembangannya sekarang, bagaimana seorang dapat dengan mudah mengkonstruksi ulang apa yang telah dilabelkan oleh masyarakat pada dirinya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Kellner (354: 2010), bahwa sekarang yang menentukan identitas Anda adalah bagaimana penampilan Anda, citra Anda, dan bagaimana Anda terlihat.
            Setiap individu selalu ingin dirinya terlihat sama atau berbeda dengan orang lain dengan berbagai motif dan tujuan yang dimiliki. Terlepas dari tujuan yang dimiliki individu tersebut, sangat jelas kesemuanya itu mengarahkan pada tuntutan akan ada identitas yang hadir dalam diri individu. Weeks dalam Barker (172: 2004), mengatakan bahwa  identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain. Sehingga tidak mengherankan jika pendefinisian ulang identitas menjadi suatu yang penting untuk meyelami ranah sosial yang ada sekarang.
            Tuntutan individu dan sosial yang mengarah pada masyarakat virtual menjadi tema sentral dan menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Ketika media tidak hanya menjadikan dirinya sebagai alat sebagai penghubung antara komunikator dan komunikan, lebih sebagai bagian dari individu yang tak terpisahkan yaitu di mana menjadikannya sebagai pencapaian suatu identitas baru. Media tersebut adalah new media.

NEW MEDIA
            Internet, mungkin kata tersebut, secara sederhana, yang pantas untuk menafsirkan new media. Terdengar tidak asing bagi kita, setiap hari bahkan setiap detiknya dapat dengan mudah kita mengaksesnya dengan berbagai gadget yang tersedia, baik itu melalui warnet, hotspot, modem bahkan handphone yang sehari-hari kita bawa. Mungkin ini juga yang maksud oleh Baran dan Davis (10: 2000) sebagai mediated communication yaitu suatu bentuk komunikasi diatara beberapa atau banyak orang dengan memanfaatkan suatu teknologi sebagai medium. Tidak mengenal tempat dan waktu, selagi mendapatkan koneksi internet, kita dapat dengan mudah untuk mendapatkan fasilitas yang diberikan, mulai dari browsing data, menulis blog, meng-update status kita di facebook atau twitter bahkan hanya untuk sekedar mengomentari tulisan orang lain.
            Dengan kelebihan yang dimilikinya, Internet merupakan suatu bentuk dari media baru yang sangat berbeda dengan media tradisonal, seperti televisi, surat kabar dan radio. Metzger dalam Nabi dan Oliver (562: 2009), menyebutkan paling tidak terdapat tujuh perbedaannya, yaitu interaktivitas, keberagaman isi, pengontrolan dan penyeleksian pemakai, konvergensi media, struktur dan organisasi informasi, dan jangkauan yang global. Sedangkang McQuail (138-139: 2005), melihat terdapat tiga perbedaan umum yang terjadi antara new media dan media traditional jika dilihat dari sudut pandang peraturan dan hubungan yang terjadi, yaitu penulis (authors), penerbit (publisher), dan pemakai (audience).

MEDIA GILA dan GILA MEDIA
            Euforia masyarakat akan internet mejadi semakin besar dalam kehidupan sosial seiring dengan banyaknya harapan-harapan yang ingin dicapai. Banyaknya permintaan ini membuat new media seakan semakin mencambuk dirinya untuk berkompetisi meraih perhatian dari audience sehingga membuat new media “gila” untuk selalu berinovasi.
             Beragamnya inovasi yang diciptakan seolah menjawab semua permintaan yang diminta oleh khalayak luas, mulai dari google yang hampir bisa dikatakan dapat memberikan seluruh informasi yang kita inginkan, youtube yang menfasilitasi orang untuk menunjukkan ekspresinya atau sekedar “narsis”, blogger yang menyediakan kita untuk mencurahkan isi pikiran dan hati kita, facebook dan twitter yang menyediakan ruang sosial bagi yang sulit untuk bersosialisasi langsung kepada masyarkat actual, sampai pada berbagai website yang menyediakan lagu-lagu kesukaan kita. Kesemuanya itu disediakan oleh new media untuk memuaskan penggunanya sehingga terjadi mutualisme yang sama-sama menguntungkan.
             Media yang “gila” ternyata membuat penggunanya (audience) juga menjadi “gila” media. Kita mungkin pernah mengalami diabaikan atau dalam istilah sekarang di”cuekin” oleh teman yang kita ajak bicara, hanya karena ia ingin melihat status facebook-nya lewat handphone yang dikomentari orang. Mungkin juga kita terbiasa dari pengalaman pribadi atau melihat orang lain tertawa sendiri ketika melihat video di youtube, sungguh betapa new media telah menjadikan diri kita “gila” dengan berbagai fitur yang ditawarkan.

HILANGNYA BATAS KOMUNIKASI
             Beragamnya informasi yang menerpa kita melalui new media seakan menghilangkan batasan komunikasi antara komunikator dan komunikan. New media menjadikan percakapan yang kita inginkan menjadi sangat mungkin dari dan untuk siapa saja, baik itu one-to-one (satu orang ke satu orang) , one to few (satu orang kebeberapa orang), one to many (satu orang kebanyak orang), dan many to many (banyak orang ke banyak orang), Metzger dalam Nabi dan Oliver (564: 2009); McQuail (138: 2005).
              Betapa komunikasi sangat mudah untuk dicapai, hanya dengan skype atau Yahoo Messenger bahkan hanya menggunakan handphone yang telah menggunakan teknologi 3G orang dapat berhubungan secara tatap muka secara “langsung” walaupun berada dalam jarak yang sangat jauh. Hal inilah yang mejadikan seolah batas komunikasi menjadi hilang dan tidak pernah ada. Bagaimanapun juga, hadirnya new media dengan berbagai kritik terhadapnya, ternyata membawa dampak bagi individu di dalam dunia sosial yang pernah ada sebelumnya.

NEW IDENTITY in NEW MEDIA
             Ketika masyarakat modern mengalami ketidakpastian, kebimbangan dan kegalauan akan siapa dirinya, new media datang membawa secercah harapan dengan menawarkan suatu bentuk self yaitu new identity. Suatu identitas yang baru dan menarik untuk menjadikannya sebagai label individu dalam suatu masyarakat actual maupun virtual. Sebuah lingkungan baru, new media, dimana setiap individu dapat diterima dengan tangan terbuka dan bebas untuk mengeksplorasi dirinya dengan kemampuan apa saja yang dimilikinya.

LAHIRNYA NEW IDENTITY
             Munculnya kesadaran diri (self-consciousness) akan peran sosial yang harus dijalankan dan seiring hadirnya new media dengan konvergensi media yang dibawa, menjadikan sebuah sinergi “menu” yang komplit guna melahirkan sebuah identitas baru. Dengan new media seorang dapat menjadikan dirinya bagai seorang yang baru terlahir kembali, dan dengan komunikasi online memungkinkan individu untuk merekonstrusi ulang identitasnya, Sherry Turkle dalam Lister dkk (211: 2009), seperti yang ia inginkan.
            Dalam kehidupan sosial yang sebenarnya seorang yang pendiam dan tidak pandai dalam berkomunikasi secara interpersonal maupun kelompok, bisa menjadi seorang aktif dengan menunjukkan identitas sebagai seorang yang pandai dan bergaya, serta sebaliknya, melalui new media dengan berbagai ruang sosial yang disediakan. Walaupun banyak orang yang mengatakan bahwa identitas baru ini merupakan suatu yang semu, akan tetapi Kennedy dalam Lister, dkk (217: 2009) beragumen bahwa sering adanya suatu keberlangsungan identitas yang dibawa dari lingkugan online ke lingkuangan yang offline (real life), dan berlanjutnya pada komunikasi interpersonal, McQuail (148: 2005). 
              Untuk menunjukkan keeksistensian new identity dalam new media, terkadang mendorong orang untuk melakukan suatu keunikan yang bisa disebut “narsis” sehingga menjadi daya tarik orang untuk memperhatikan atau hanya melihat sekilas bentuk identitas yang ditampilkan. Keberadaan new media, seperti yang dikatakan McQuail (149: 2005), memungkinkan juga adanya pembentukan norma dan peraturan tidak tertulis yang diciptakan perorangan atau kelompok, guna menghasilkan suatu karakteristik yang menjadi identitas sebagai bentuk representasi yang dapat dikenali orang lain dan kita sendiri, Barker (170: 2004).
               Perlu perhatikan bahwa, sering kali masyarakat luas mengenal new identity yang diciptakan tidak serta merta berkat dari identitas yang kita perkenalkan lewat new media saja, akan tetapi banyak adanya new identity di internet menjadi terkenal setelah dibantu oleh media massa yang lain, seperti TV, radio dan surat kabar. Sebagai contoh beberapa kasus yang tidak asing lagi bagi kita adalah kasus Prita, Lagu Keong Racun, Julian Assange dan masih banyak lagi. Diakuinya new identity melalui bantuan media massa lain, lebih karena disebabkan faktor geografis masyarakat dan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki sehingga hanya dengan bantuan media massa lama, seperti TV, radio dan surat kabar, sajalah new identity dalam new media dapat terkenal dan diakui oleh khlayak luas.

IDENTITAS MASA DEPAN

             “Identity can be ‘constructed’ in cyberspace or virtual worlds”, Lister, dkk (270: 2009), mungkin kalimat tersebut dapat menggambarkan kepada kita bahwa hidup digital memang sangat dimungkinkan, terlepas apakah baik atau buruk, di mana seorang dapat membuat identitasnya sedemikian rupa menurut apa yang dikehendaki tanpa adanya paksaan dari luar dirinya. Identitas yang dapat dimaknai melalui tanda selera, keyakinan, sikap dan suatu gaya hidup. 
              Tidak mengenal dari mana identitas tersebut diciptakan, dalam new media atau real world, ternyata tidak bisa lepas dari sifat sosial yang menyertainya. Dalam arti, identitas tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya suatu pengakuan sosial, baik secara virtual maupun actual, yaitu suatu pengakuan individu-individu lain yang menilai dan memperhatikan identitas yang kita ciptakan. Oleh karena itu, Kellner (317: 2010) menyebutkan bahwa dalam modernitas, masalah identitas berakar pada bagaimana kita membentuk, merasa, menginterpretasikan, dan menampilkan diri kepada diri kita dan orang lain.
               Suatu bentuk alternatif dari ketidakpastian self, new indentity hadir sebagai pilihan bagi beberapa orang yang melihat cyberspace merupakan new environment yang berguna untuk bersosialisasi sebagai makhluk sosial dengan menggunakan fasilitas new media yang disediakan. Sehingga akhirnya, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kebaradaan new media membantu seseorang untuk melahirkan new identity  yang ia inginkan.

PENUTUP
             Sangat menarik perhatian, ketika permasalahan identitas dihubungkan dengan tema sentral masyarakat sekarang yaitu new media. Melalui new media, identitas menjadi suatu yang dicari, dirubah, dibentuk dan disebarkan sehingga membentuk sebuah new identity. Konsep identitas menjadi berubah, yang dahulu cenderung bersifat tetap, kini layaknya konsep air yang dapat berubah-ubah setiap waktu tergantung tempatnya. Akan tetapi, peran identitas yang disandang oleh individu terkadang baru dianggap penting ketika peran tersebut dibawa ke ranah publik, tanpa adanya peran publik, baik itu real public atau virtual public, new identity yang dibentuk melalui new media tidak menjadi new identity yang berarti.
              Ada suatu keperluan perhatian yang mendasar dalam perkembangan media massa kontemporer saat ini, bahwa usangnya identitas yang dimiliki setiap individu menjadikan new media sebagai tempat yang cocok untuk mengolah dan membentuk ulang kualitas personal sehingga menghasilkan new identity. Identitas baru yang membuat seorang menjadi nyaman dan aman dalam melakukan segala aktivitas dan bentuk komunikasi di lingkungannya. Suatu lingkungan yang menyambut dengan kebebasan dalam berekspresi dan menunjukkan bakat yang dimiliki individu, yaitu lingkungan new media.
             Munculnya new identity melalui new media, ibarat sekelompok orang yang berlomba-lomba untuk melepaskan sebagian atau bahkan seluruh pakaian yang telah usang dari badannya, menggantinya dengan pakaian baru yang lebih fashionable dan dirancang oleh para designer handal. Lalu, apakah kita tertarik untuk membuka pakaian juga?
* * *
rosihan ahmad

DAFTAR PUSTAKA
  • Baran, Stanley J. And Davis, Dennis K. Mass Comunication Theory: Fondation, Ferment and Future. Second Edition. Wadsworth: 2000.
  • Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
  • Fromm, Erich. Lari Dari Kebebasan. Penerjemah: Kamdani. Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1997.
  • Kellner, Douglas. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara Modern dan Postmodern. Penerjemah: Galih Bondan Rambatan. Yogyakarta, Jalasutra: 2010.

  • Lister, Martin. Dovey, Jon. Giddings, Seth. Grant, Iain. Kelly, Kieran. New Media: a critical introduction. Second Edition. Routledge. New York: 2009.
  • McQuail, Danis. McQuali’s Mass Communication Theory. SAGE Publication. 2005
  • Nabi, L. Robin. Oliver, Beth, Mary. Media Processes and Effects. SAGE Publications. 2009.
  •  West, Ricard. Turner, J. H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Penerjemah: Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta, Salemba Humanika: 2008.
READ MORE - NEW MEDIA, NEW IDENTITY

7 TUJUH TRADISI TEORI KOMUNIKASI

Sabtu, 27 November 2010
Teori-teori komunikasi yang pernah kita pelajari sebenarnya bersifat praktek, karena padasarnya teori-teori tersebut merupakan sebuah respon terhadap bentuk komunikasi yang sering kita jumpai dan kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui teori apa yang seharusnya kita pakai dan masuk dalam ranah pembahasan apa, maka sebaiknya kita terlebih dahulu mengenal pengelompokan teori-teori komunikasi berdasarkan bidang kajiannya. Ada tujuh tradisi, dalam pembagiannya Craig, yang merupakan bidang kajian komunikasi yaitu seperti yang disebutkan di bawah ini:
 
1. Tradisi Retorika (rhetorical tradition)
 
Tradisi ini secara garis besar mengganggap komunikasi merupakan sebuah seni yang bersifat praktis. Sebagai seorang komunikator, produser media, ataupun penulis memerlukan suatu strategi yang digunakan untuk mendesain sebuah pesan yang akan kita sampaikan yang bertujuan untuk menarik perhatian audiens (komunikan) atau untuk mengendalikan audiens.
Logika dan daya emosional sangat diperhatikan di sini sehingga kata-kata yang disampaikan mempunyai kekuatan (powerfull) dan informasi yang disampaikan dapat dipahami dengan baik sehingga orang yang mendengarkan (komunikan) dapat dikontrol. Akan tetapi dalam tradisi ini mempunyai pertentangan yang menyatakan bahwa: “kata-kata bukan sebuah tindakan”, “sesuatu yang diperlihatkan bukan merupakan sebuah realita”, “gaya bukan sebuah yang pokok (substansial)”, dan “opini bukan merupakan suatu kebenaran”. 
 
2. Tradisi Semiotik (semiotic tradition)
 
Secara garis besar, tradisi ini berfokus pada tanda dan simbol dimana komunikasi merupakan sebuah jembatan antara dunia individu dan makna yang tersembunyi pada tanda yang dapat atau tidak kita pahami. Dengan kata lain, permasalahan yang dihadapi oleh tradisi ini adalah permasalahan kesalapahaman (missunderstanding) dan peresponan yang salah.
Kekuatan dari semiotik terdapat pada ide mengenai kebutuhan akan sebuah bahasa yang sama yang dapat mengidentifikasikan sebuah subjektifitas dan sebagai penyelesaisan rintangan dari pemahaman seseorang. Teori ini sering bertentangan dengan teori-teori yang menyatakan bahwa: “kata mempunyai makna yang benar”, “tanda merupakan pejelasan mengenai objek”, dan “bahasa merupakan sesuatu yang netral”.

3. Tradisi Fenomenologi (phenomenological tradition)

Tradisi ini berkonsentrasi pada pengalaman seseorang termasuk pengalaman individu dengan individu yang lain. Komunikasi dipandang sebagai sebuah bentuk berbaginya pengalaman seseorang melalui bahasa. Dalam tradisi ini, hubungan seseorang dianggap menjadi sangat penting yang berguna untuk merespon masalah yang berhubungan dengan “terkikisnya” hubungan yang kuat.
Pendekatan tradisi ini menekankan pada intraksi manusia, penghormatan, pemahaman mengenai perbedaan dan latarbelakang yang sama. Teori ini menolak  wacana yang menyatakan bahwa: “komunikasi merupakan suatu keahlian (skill) belaka”, kata dan sesuatu (things) merupakan bentuk yang terpisah” atau “nilai terpisah dari sebuah fakta”.

4. Tradisi Cybernetik (cybernetic tradition)

Komunikasi, dalam tradisi ini, dilihat sebagai pemprosesan informasi yang memfokuskan masalahnya pada gangguan (noise) dan sistem. Teori cybernetik telihat menarik ketika membahas mengenai pikiran dan otak, rasionalitas dan meningkatnya sistem menjadi yang lebih kompleks.
Dalam tradisi ini, memberikan perhatian mengenai perbedaan antara mesin dan manusia atau pada hubungan sebab akibat yang bersifat linear. Intinya, teori ini membahas bagaimana suatu informasi dapat mengalir dan berjalan dengan baik.

5. Tradisi Sosial-Psikologikal (socio-psyhological tradition)

Tradisi ini mengkonsentrasikan pada aspek-aspek komunikasi yang bersifat ekspresi, interaksi, dan pengaruh. Tradisi ini sangat penting ketika kita mempelajari suatu kondisi dimana seseorang dianggap penting, keputusan dibiaskan oleh kepercayaan (beliefs) dan perasaan (feelings) dan seseorang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap yang lainnya.
Tradisi ini menentang pernyataan yang mengatakan bahwa: “manusia merupakan makhluk rational”, “seorang individu mengetahui apa yang dipikirkannnya”, dan “persepsi mengarahkan kita untuk melihat yang nyata”.

6. Tradisi Sosial-Kultural (socio-cultural tradition)

Dalam tradisi teori ini, secara umum menganggap komunikasi merupakan produksi atau reproduksi dari sebuah masyarakat dan budaya serta komunikasi dilihat sebagai perekat hubungan yang ada dimasyarakat. Masalah yang biasa menjadi perhatian seperti konflik, perebutan sesuatu, dan kegagalan sebuah kordinasi. Teori ini mendasarkan kebanyakan kepada tema-tema seperti masyarakat, struktur, ritual, peraturan, dan budaya.
Teori dalam tradisi ini bersebrangan dengan argumen yang menyatakan: “berlakunya kekuasaan individu”, “ke-aku-an”, dan “perpecahan interaksi manusia dari struktur masyarakat”.

7. Tradisi Kritis (critical tradition)

Secara umum, tradisi ini melihat komunikasi merupakan sebuah wacana dimana segala sesuatunya dapat dipertanyakan. Dengan kata lain, komunikasi dilihat sebagai bentuk dari rancangan sosial yang dibuat oleh kekuasaan dan penindasan. Tradisi ini mendekatkan pada permasalahan pengabdian diri pada sebuah kekuasaan, nilai kebebasan dan kesetaraan dan kepentingan untuk selalu mendiskusikan suatu informasi.
Dari ketujuh tradisi ini, kita bisa melihat bagaimana cakupan kajian yang bisa diamati dalam bidang komunikasi sehingga dapat memudahkan kita dalam menditeksi dan mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan komunikasi. Tujuan dari semua ini merupakan terjalinya suatu komunikasi yang tidak saja efektif melainkan juga komunikasi yang mempunyai nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini, penulis review dalam dua sumber bacaan sebatas pemahaman dari penulis yang berarti bahwa masih banyak yang perlu dikoreksi. Apabila ada saran dan kritikan semoga dapat disampaikan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Minggu pagi, 02.18 WIB
Jakarta, 28 November 2010
Ahmad Rosihan

Sumber:
-Craig. R. T. (1999). Communication Theory as a field.
-Stephen W. Littlejohn/Karen A. Foss, “Thories Of  Human Communication”, Seventh Edition.
READ MORE - TUJUH TRADISI TEORI KOMUNIKASI

2 KEKUASAAN, BAHASA dan IDENTITAS

Selasa, 23 November 2010
“Terkikisnya Bahasa Indonesia Akibat Penggunaan Bahasa Asing Sebagai Bentuk Pencarian Identitas Dari Ilusi Globalisasi”

A.    Latarbelakang Masalah

Ketika bahasa menjadi salah satu artefak budaya dan karakteristik suatu bangsa, yang menjadi kebanggaan dan nilai tambah di dunia Internasional, maka keberadaan bahasa untuk dilestarikan adalah mutlak dan tidak bisa ditawar. Perkembangan bahasa sendiri tidak selalu berjalan statis melainkan mengalami perubahan, baik berubah secara drastis maupun tahap demi tahap, dari masa ke masa. Perubahan ini selanjutnya apakah bersifat menghilangkan ke”asli”annya atau mengalami penyerapan dari bahasa lain sehingga terjadinya percampuran bahasa ataupun menghasilkan suatu bahasa yang baru.

Secara geografis, negara Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dan selat, sehingga mengahasilkan banyak ragam bahasa yang menjadi ciri khas suatu daerah. Selain menpunyai banyak ragam bahasa daerah, negara Indonesia tidak melupakan falsafah leluhur yakni “Bhineka Tunggal Ika” (walaupun berbeda-beda tetapi satu juga) dengan adanya bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Keberadaan Bahasa Indonesia dinilai sangat penting dan sangat efektif, karena terdiri dari pulau-pulau besar maupun kecil dan banyaknya jenis bahasa daerah, untuk menciptakan kesamaan persepsi dan persatuan sehingga terjalinnya kerukunan warga negara dalam menjalankan kehidupan sosial.

Bahasa Indonesia yang telah menjadi kearifan budaya selama bertahun-tahun ternyata tidak serta merta begitu saja menjadi bahasa yang disepati secara luas, melainkan melalui sederetan sejarah panjang yang naif sekali jika kita dengan mudah melupakannya. Perjuangan Bahasa Indonesia ternyata sampai sekarang masih berlanjut dengan sekuat tenaga, untuk tetap dibanggakan dan diakui keberadaannya, melawan bahasa asing yang masuk untuk merusak mapun menggantikannya.

Konsumsi besar-besaran pada artefak media seperti film, musik dan berita asing hingga menjamurnya “penyakit” facebook-isme, tweeter-isme dan internet menjadikan Bahasa Indonesia seperti “kekasih” yang selama bertahun-tahun dicintai dan dijaga keberadaanya kemudian dengan mudah ditinggalkan dan disia-siakan seperti barang “rongsokan” yang tidak lagi berguna. Hal ini menjadikan Bahasa Indonesia berada dititik nadir dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menganti Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Inggris, Mandarin, Prancis, Belanda dan lain sebagainya. 

Dampak dari masuknya budaya asing ini terlihat jelas dari percakapan sehari-hari mulai dari murid Sekolah Menengah Atas sampai pada para akademisi di berbagai universitas, munculnya berbagai slogan-solgan berbahasa asing, papan nama; pamflet; stiker; sampai iklan yang memakai bahasa asing, dan kebanggaan mengenakan semua yang bertuliskan bahasa asing.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang masalah perubahan bangsa Indonesia yang sering mengkaitkan dirinya dengan bahasa asing sehingga menggeser peranan Bahasa Indonesia terkini, saya akan mencoba untuk menelaah jauh kebelakang dimulai dengan sejarah perkembangan Bahasa Indonesia, perubahan-perubahannya, dan dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan hingga ke zaman “ra nggenah” (jawa), sekarang. 

B.     Periode Bahasa Indonesia

Salah satu artefak budaya adalah bahasa, yang masih mengalami perubahan; pengadopsian; serta penyempurnaan, yang merupakan suatu karakteristik suatu daerah maupun negara. Setiap bahasa, yang telah menjadi ciri khas bangsa, ternyata mempunyai sejarahnya masing-masing. Begitu juga dengan Bahasa Indonesia, mengalami pembentukan, perubahan, penyempurnaan hingga menjadi bahasa pemersatu di nusantara Indonesia. Akan tetapi, sekarang, Bahasa indonesia telah mengalami pengkikisan yang akut dimana masuknya budaya asing dari seluruh dunia, terutama negara barat, mengakibatkan munculnya bahasa campuran antara Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti Inggris.

Oleh karena itu, untuk mengetahui permasalahan budaya tersebut sebaiknya kita melihat jauh kebelakang sejarah Indonesia, diantaranya sebagai berikut:

a.      Masa kerajaan

Bahasa masyarakat pada masa kerajaan bukalah seperti Bahasa Indonesia yang kita pakai sehari-hari, melainkan menggunakan campuran antara Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Sanskerta. Penggunaan bahasa ini dibuktikan dengan temuan beberapa prasasti, seperti:

·         Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Selatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.

·         Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatan raja.

·         Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.

(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html)


Dari berbagai bukti prasasti yang ditemukan di berbagai daerah ini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Sriwijawa memang benar ada dan penggunaan Bahasa Melayu dan Sansekerta dimungkinkan dijadikan bahasa sehari-hari pada masa itu.


b.      Masa Kolonial

Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang luas dan mempunyai sumber daya alam yang melimpah, terutama rempah-rempah, yang menarik perhatian negara Belanda, pada 20 Maret 1602, untuk mendirikan sebuah usaha dagang di Indonesia, guna membeli rempah-rempah dari masyarakat Indonesia dan menjualnya kembali ke negara-negara eropa, yaitu VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Ternyata belanda merasa nyaman dengan memperoleh keuntungan dari berdagang di Indonesia sehingga hal ini membuat belanda hampir 200 tahun yaitu sampai pada tahun 1799.

(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html)

Ternyata dalam perkembangannya VOC dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya di Indonesia, karena terjadinya korupsi besar-besaran, sehingga VOC di ambil alih oleh kerajaan belanda dan menggantinya dengan menjadi suatu pemerintahan kolonial dengan memakai nama Nederlandsche OOst-Indie (India Belanda). Dari sinilah munculnya pengaruh-pengaruh serta perubahan di tubuh Bahasa Melayu Indonesia, yang diantaranya bisa di uraikan sebagai berikut:

·         Pada tahun 1845, Kolonial Belanda membuat suatu kebijakan yaitu dengan membuat beberapa sekolah di India Belanda, yang di sahkan secara resmi oleh Ratu Belanda pada tahun 1901, sebagai Politk Etis dari tanggungjawab kepada India Belanda karena telah mengeruk sumber daya alam selama beratus-ratus tahun.(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html)

Akan tetapi sebagian sekolah ini hanya bisa dinikmati oleh kaum Priyayi pada waktu itu, misalnya: anak bupati dan pembersar lainnya. Beberapa sekolah tersebut antara lain seperti:

·         ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School).

·         HBS (Hogere Burger School)

·         Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School)

·         Sekolah Desa (Volksch School)

·         Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School)

·         Sekolah Peralihan (Schakel School)

·         MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)

·         Stovia (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen) (http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul)

Dari sekolah-sekolah inilah, para pembesar Indonesia didik, sehingga ini juga yang memungkinkan mereka sering menggunakan bahasa Belanda dari pada Bahasa Indonesia, karena dalam sehari-harinya belajar-mengajar menggunakan bahasa Belanda. “Bahasa Belanda digunakan sebagai sebuah bahasa resmi di Nusantara, ketika Belanda menjajah sebagian wilayah kepulauan ini.”

(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belanda_di_Indonesia).


·         Tahun 1865, Bahasa Melayu Riau diberlakukan sebagai bahasa resmi kedua setelah Bahasa Belanda.

·         Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.

·         Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.

(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html).

Dari serangkaian sejarah pada masa inilah merupakan dimulainya pembelajaran bahasa asing kepada bangsa Indonesia, yang membentuk dan mengakar sampai sekarang bahwa orang yang bida belajar bahasa asing merupakan seseorang yang derajatnya lebih tinggi sama seperti orang Belanda yang selalu dihormati dan dimulyakan. Hal positif dari ini adalah bangsa Indonesia menjadi orang-orang yang terpelajar yang mengerti tentang permasalahan konolnial, walaupun tujuan belanda tidak demikian. Tujuan Belanda pada mulanya mendirikan sekolah hanyalah untuk memantapkan administrasi pemerintahan yang memerlukan tenaga terdidik. Namun, semakin cerdasnya bangsa indonesia kita menjadis adar bahwa bangsa kita hanya dimanfaatkan hanya untuk menguatkan pengaruh bangsa belanda di indonesia.

(http://qalbinur.wordpress.com/2008/04/01/sejarah-perkembangan-pendidikan-barat-di-indonesia-di-jaman-hindia-belanda/)



c.       Masa Kemerdekaan

Masa ini merupakan awal dari terbentuknya Bahasa Indonesia dimana dahulu bahasa Melayu digunakan sebagian besar bangsa indonesia dan bahasa Belanda banyak digunakan oleh kaum priyayi dan terpelajar Indonesia. Pada masa kemerdekaan ini ada beberapa hal yang mungkin dianggap penting dalam perumusan Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang resmi, diantaranya sevagai berikut:

·         Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

·         Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.

·         Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belanda_di_Indonesia)

Dari daftar rangkaian peristiwa di atas, dapat dikatan bahwa Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara Indonesia yang menajadi kebanggaan dan sebuah niatan untuk menghilangkan sejarah kelam dari penjajahan Belanda yang ada di Indonesia. Jika saja yang menjadi bahasa resmi merupakan bahasa Belanda, karena melihat sekitar 350 tahun menjajah Indonesia, mungkin Negara Indonesia selalu dibayang-bayangi oleh sejarah kolonial dan selalu rendah diri.

Walaupun demikian, sesuatu peristiwa menarik yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada masa Kemerdekaan belum bisa lepas dari pengaruh Bahasa Belanda, yaitu: “Pada tanggal 19 September 1945, Sukarni, dahulu menjadi anggota perumusan Sumpah Pemuda yang merumuskan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Persatuan, membuat suatu gerakan yang bernama Van Actie, yaitu menggalang masyarakat untuk mengukuhkan Soekarno dan Hatta menjadi presiden dan Wakil presiden Indonesia.” (www.pandji.com/bahasainggris)



d.      Masa Kolonial Baru

Setelah hampir 65 tahun sejak 17 Agustus 1945 negara Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, apakah bangsa ini sudah benar-benar “medeka”? jawabannya adalah belum. Setelah lepas dari kolonial lama, bangsa Indonesia memasuki bentuk “penjajahan baru”, dimulai sejak lengsernya pemerintahan Orde Baru, yaitu penjajahan budaya.

Setelah runtuhnya “kerajaan” Orde Baru pada tahun 1998, masyarakat Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan bila perlu melakukan “slametan” besar-besaran di berbagai daerah. Bangsa Indonesia merasa sudah bebas dari kungkungan masa lalu yang mencekam dan merasa berhak untuk melakukan apa saja dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Akibatnya masuknya budaya asing, melalui film; musik; berita; dan ideologi, tidak lagi dipandang sebagai “tamu” yang harus diwaspadai setiap waktu melainkan di sambut dengan ramah sehingga menimbulkan konsumsi besar-besaran terhadap budaya asing.

Secara umum, setelah lepas dari Kolonial Belanda, Bangsa Indonesia kembali di jajah oleh bangsa-bangsa barat, terutama Amerika dan Inggris. Adanya jargon-jargon Globalisasi dan Bahasa Internasional, Bahasa Inggris, menjadikan bangsa Indonesia merasa harus mengadopsi budaya asing dan mempelajari.  Celakanya, pola pikir ini juga di terapkan oleh pemerintah dan instansi pendidikan dengan melakukan pembelajaran budaya asing, terutama mengenai bahasa, tanpa adanya peringatan  dengan tegas mengenai batasan-batasan yang harus dilakukann dan tidak melupakan untuk selalu bangga dengan bahasa sendiri.

Memang tidak ada yang salah jika kita mempelajari budaya dan bahasa asing, akan tetapi jika budaya dan bahasa asing tersebut kemudian menjadi tolak ukur dan gaya hidup yang diidam-idamkan oleh masyarakat, karena adanya pembentukan karakter tersebut, maka budaya lokal yang dahulu menjadi kebanggaan lambat-laun hanya menjadi dongeng.

Dampak ini, lebih parah, dikarenakan adanya kekuasaan baik dari pemerintah Indonesia maupun dari desakan bangsa asing. Disatu sisi, pemerintah dengan gencar mensosialisasikan untuk mempelajari Bahasa Internasional, Bahasa inggris, untuk menghadapi zaman globalisasi, walaupun pengertian globalisasi sendiri susah untuk didefinisakan secara pasti. Dan disisi yang sama, masuknya berbagai jenis musik dan film barat yang berbahasa Inggris menjadi “makanan” sehari-hari masyarakat Indonesia.

Dan akhirnya, masyarakat lebih bangga menggunakan bahasa Inggris dalam kata, istilah, dan ungkapan asing, walaupun hal tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.  Hal ini membuat kita seolah-olah kembali lagi pada masa kolonial Belanda dahulu, di mana orang-orang bangga menggunakan bahasa Belanda ketimbang bahasa Melayu, karena dapat menaikan status sosial dan terlihat terpelajar.



C.    Krisis Identitas

Setelah kita melihat perkembangan Bahasa Indonesia mulai dari masa kerajaan, yaitu di mana bangsa Indonesia masih memakai Bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, kerajaan maupun dalam bahasa sehari-hari; masa kolonial, dimulainya adanya pergeseran bahasa menjadi bahasa Belanda di mana orang-orang terpelajar merasa harus dapat berbahasa Belanda sekaligus menciptakan citra terpelajar karena berbahasa Belanda; masa kemerdekaan, merupakan babak baru setelah lepas dalam rantai kolonial dalam menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan walaupun pada kenyataannya masih banyak para tokoh yang masih senang dan merasa harus berbasa Belanda dalam berpidato dan berbincang sehari-hari; masa kolonial baru, pada masa ini bangsa Indonesia masuk dalam suatu bentuk kolonial baru yaitu kolonial Bahasa Inggris.

Setelah kita melihat serangkaian tadi hal ini seperti seekor mangsa yang telah lepas dari mulut singa ternyata masuk kembali masuk ke mulut buaya. Tentunya tidak berlebihan jika saya mengatakan demikian, karena kenyataannya, jika kita melihat keadaan sekarang banyak orang yang merasa bangga jika sudah berbahasa Inggris, bangga jika status di facebook atau twitter memakai bahasa Inggris, bangga jika berbicara dengan teman memakai istilah bahasa inggris, bangga jika telah membenarkan seseorang yang salah dalam berbahasa Inggris, bangga jika orang mengganggapnya seorang yang terpelajar, bangga jika telah melakukan test masuk perguruan tinggi dengan memakai bahasa Inggris, dan kebanggaan semu lainnya.

Bangsa ini telah terjangkit “penyakit akut” yaitu krisis identitas. Malu jika identitasnya berbau Indonesia dan banga jika identitasnya dibawah naungan barat. Mulai dari bertebarannya iklan yang berbahasa Inggris sampai menjamurnya slogan-slogan bahasa asing baik dari akademisi pendidikan maupun pemerintah yang tidak jelas artinya, dari penamaan produk  sampai pemberian nama anak dengan memakai nama asing, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai tes masuk Universitas diwajibkan memakai bahasa Inggris dan dari sampai yang lain.

Saya melihat adanya kekuasaan yang menjadikan bahasa Inggris menjadi bahasa yang sering kita pakai sekarang. Ada tiga kekuasaan yang sangat menentukan dalam penggunaan bahasa Inggris di negara ini, yaitu:





1.      Negara-negara maju

Peran negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris sangat besar. Mereka “melantunkan” dengan gencar jargo-jargon seperti globalisasi, Bahasa Internasional dan gaya hidup yang bertujuan supaya produk-produk mereka seperti film, musik, model pakaian sampai dengan perabot rumah tangga dan produk berstandar Amerika atau Eropa lainnya dapat dengan mudah diterima oleh negara-negara berkembang. Adaya jargon tersebut ternyata hanya untuk kepentingan distribusi “produk-produk” mereka di negara ketiga sehingga negara ketiga hanya untuk pembuangan hasil produk mereka tanpa bisa mengelak dan terus mengkonsumsi dengan adanya rasa bangga dari sang pemakai.

2.      Pemerintah Indonesia

Ternyata permasalahan pemakaian bahasa asing ini, tidak lepas dari peran dosa pemerintah kita yang dengan bangga menyelenggarakan, berbagai jenis kegiatan bahkan masuk pada kurikulum sekolah sampai universitas, pemakaian bahasa asing tanpa diimbangi dengan menumbuhkan rasa cinta berbahasa Indonesia. Akibatnya  generasi muda enggan untuk belajar bahasa Indonesia karena telah merasa bisa dan terbiasa dengan bahasa Indonesia dan berlomba-lomba untuk belajar bahasa asing serta budaya mereka karena merasa terpelajar dan “gaul” jika memakai bahasa asing.

3.      Orang tua

Peran orang tua dalam keluarga menurut saya sangat menentukan juga dalam pengkonsumsian bahasa asing. Anak-anak sejak usia dini dimasukan ke sekolah-sekolah yang bertaraf internasional dengan alasan supaya si anak menjadi pintar dan siap menjalani tantangan di jaman globalisasi. Akan tetapi di sisi lain ternyata, hal ini menjadi suatu kesombongan yang diinginkan orang tua jika mereka berhadapan dengan sanak saudara, kolega bahkan kepada tetangga disekitar rumah. Para orang tua merasa bangga jika ditanya dimana anaknya sekolah dan bisa berbahasa apa saja? Bahkan para orang tua yang berasal dari suatu daerah tertentu yang mempunyai bahasa daerah, merasa malu jika harus mengajarkan bahasa daerah dan menjadi keharusan untuk berkomunikasi di dalam rumah menggunakan bahasa Inggris.



D.    Teori Indentitas dan Bahasa

Menurut saya, adanya pencarian sebuah identitas merupakan sebuah masalah yang digambarkan masyarkat Indonesia sekarang. Salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi baik secara resmi mupun dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan identitas sendiri diartikan sebagai:

“sebuah esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup.” (Chris Barker, “Cultural Studies” Teori dan Praktek, 2004: 170)



Sehingga masalah penggunaan bahasa asing oleh bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai gaya hidup, selera kelas atas dan status sosial yang membedakan mereka dengan orang lain yang tidak memakai bahasa asing. Hal ini juga disinggung oleh Weeks, dalam Chris Barker, “Cultural Studies” Teori dan Praktek, 2004: 172, yang menyatakan bahwa:

“Identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain.”



Ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang tidak mudah melupakan sejarah yaitu masih beranggapan bahwa bahasa orang asing merupakan bahasa yang bisa mengangkat harkat dan martabat diri dengan belajar dari Belanda. Menjadi orang lain, seperti Belanda, merupakan suatu identitas yang diidam-idamkan. Sehingga sekarang, setelah merdeka, masyarakat berlomba-lomba mencari identitas baru lagi yaitu dengan mempelajari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Kegilaan bahasa Inggris telah membuat bangsa ini sedikit-demi sedikit melupakan bahasannya sendiri yang sangat mengkhawatirkan bagi berlangsungnya persatuan suatu bangsa.

Saya pribadi sangat mengkhawatirkan nasib Bahasa Indonesia 30-50 tahun mendatang, apakah Bahasa Indonesia akan diganti oleh Bahasa Inggris, jika jawabannya adalah ya, maka hal ini merupakan , yang saya pinjam dari Bu Risa, suatu bentuk “penghianatan” terhadap sumpah pemuda dan cita-cita luhur budaya Indonesia.

Karena bahasa merupakan sebuah bentuk karakteristik budaya yang harus dibanggakan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Hal ini diperjelas oleh Ihroni, dalam bukunya Engkus Kuswarno “Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, 2008: 9, meyatakan bahwa:

“bahasa merupakan wahana utama untuk meneruskan adat istiadat dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.”

Jadi, apakah kita sudah merdeka?









DAFTAR PUSTAKA



·         Barker, Chris. “Cultural Studies”: Teori dan Praktek. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.

·         Kuswarno, Engkus. “Metode Penelitian Komunikasi”: Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran, 2008.

·         http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html

(Pukul 21.12 WIB, Tanggal 10-10-2010)

·         www.pandji.com/bahasainggris

(Pukul 22.30 WIB, Tanggal 10-10-2010)

·         http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul

(Pukul 22.42 WIB, Tanggal 22-10-2010)

·         http://qalbinur.wordpress.com/2008/04/01/sejarah-perkembangan-pendidikan-barat-di-indonesia-di-jaman-hindia-belanda/

(Pukul 22.45 WIB, Tanggal 22-10-2010)

·         http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belanda_di_Indonesia

(Pukul 22.57 WIB, Tanggal 22-10-2010)

















PERNYATAAN



Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama               : Ahmad Rosihan

NPM               : 1006797591

Fakultas           : Ilmu Sosial dan Politik

Jurusan            : Ilmu Komunikasi (S2)

  Universitas Indonesia

Menyatakan bahwa, pengambilan tema dari tugas ini berdasarkan diskusi kelompok pada tanggal 21 Oktober 2010 serta hasil tulisan ini merupakan hasil saya sendiri dan tidak menjiplak maupun memplagiat, adapun pengambilan hasil tulisan dari orang lain saya sertakan rujukan atau sumbernya. Jika saya ternyata terbukti menjiplak atau meplagiat dari hasil orang lain dan tidak mnyebutkan sumber asli tulisan tersebut maka saya siap untuk diberi sangsi untuk membuat ulang tugas ini.



Jakarta, 26 Oktober 2010

Penulis



Ahmad Rosihan

1006797591
READ MORE - KEKUASAAN, BAHASA dan IDENTITAS

1 Framework

Minggu, 07 November 2010
Menurut pengalaman saya, mengembangkan program yang dibuat oleh orang lain lebih sulit dibandingkan dengan membuat program tersebut dari awal, karena setiap programmer punya style/gaya yang berbeda-beda dalam programming. parahnya lagi kebanyakan gaya yang dianut programmer adalah gaya 'langsung hajar', tidak ada dokumentasi dan tidak ada komentar/keterangan dalam programnya.

Nah, apabila program tersebut dikembangkan menggunakan framework, maka siapapun programmernya, asalkan dia menguasai framework, maka bisa dipastikan dia bisa mengembangkan program tersebut dengan mudah, karena gaya programnya sudah diseragamkan oleh aturan framework.

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa framework itu merupakan kumpulan fungsi (libraries), maka kita tidak perlu lagi membuat fungsi-fungsi tersebut dari awal. artinya tinggal dipanggil aja fungsi-fungsi yang diinginkan, tentunya cara memanggilnya sesuai dengan aturan framework tersebut. beberapa contoh fungsi-fungsi standar yang telah tersedia dalam suatu framework adalah fungsi paging, enkripsi, email, SEO, session, security, kalender, bahasa, manipulasi gambar, grafik, table bergaya zebra, validasi, upload, captcha, XSS filtering, template, kompresi, XML, dll.

Saat ini banyak sekali framework-framework berbasis PHP diantaranya yg populer adalah Zend, Symphony, Prado, CakePHP, CodeIgniter, Smarty Template dan masih bnyak lagi.



Sekian dulu dr saya, mao nglanjutin kerjaan dulu yak...! :D
READ MORE - Framework

4 Assalamualaikum Wr.Wb

Senin, 01 November 2010
Hari ini hari selasa pagi... saya sebagai admin blog ini akhirnya dapat membuat blog ini, blog ini sendiri nantinya akan dijadikan wadah tukar ilmu dan pemikiran bagi seluruh penghuni RD dan para seniornya juga para alumni yang telah lulus.
Semoga dengan adanya blog ini dapat menggugah rasa ingin menulis di dunia maya khususnya di blog ini... tentu tulisan yang akan di tulis dalam blog ini adalah tulisan yang bermanfaat bagi para junior-junior yang sedang belajar dan mencari ilmu.. baik itu ilmu duniawi dan ilmu agama.. 
sekian article dari saya terimakasih untuk yang membacanya ^_^
READ MORE - Assalamualaikum Wr.Wb