“Terkikisnya Bahasa Indonesia Akibat Penggunaan Bahasa Asing Sebagai Bentuk Pencarian Identitas Dari Ilusi Globalisasi”
A. Latarbelakang Masalah
Ketika bahasa menjadi salah satu artefak budaya dan karakteristik suatu bangsa, yang menjadi kebanggaan dan nilai tambah di dunia Internasional, maka keberadaan bahasa untuk dilestarikan adalah mutlak dan tidak bisa ditawar. Perkembangan bahasa sendiri tidak selalu berjalan statis melainkan mengalami perubahan, baik berubah secara drastis maupun tahap demi tahap, dari masa ke masa. Perubahan ini selanjutnya apakah bersifat menghilangkan ke”asli”annya atau mengalami penyerapan dari bahasa lain sehingga terjadinya percampuran bahasa ataupun menghasilkan suatu bahasa yang baru.
Secara geografis, negara Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dan selat, sehingga mengahasilkan banyak ragam bahasa yang menjadi ciri khas suatu daerah. Selain menpunyai banyak ragam bahasa daerah, negara Indonesia tidak melupakan falsafah leluhur yakni “Bhineka Tunggal Ika” (walaupun berbeda-beda tetapi satu juga) dengan adanya bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Keberadaan Bahasa Indonesia dinilai sangat penting dan sangat efektif, karena terdiri dari pulau-pulau besar maupun kecil dan banyaknya jenis bahasa daerah, untuk menciptakan kesamaan persepsi dan persatuan sehingga terjalinnya kerukunan warga negara dalam menjalankan kehidupan sosial.
Bahasa Indonesia yang telah menjadi kearifan budaya selama bertahun-tahun ternyata tidak serta merta begitu saja menjadi bahasa yang disepati secara luas, melainkan melalui sederetan sejarah panjang yang naif sekali jika kita dengan mudah melupakannya. Perjuangan Bahasa Indonesia ternyata sampai sekarang masih berlanjut dengan sekuat tenaga, untuk tetap dibanggakan dan diakui keberadaannya, melawan bahasa asing yang masuk untuk merusak mapun menggantikannya.
Konsumsi besar-besaran pada artefak media seperti film, musik dan berita asing hingga menjamurnya “penyakit” facebook-isme, tweeter-isme dan internet menjadikan Bahasa Indonesia seperti “kekasih” yang selama bertahun-tahun dicintai dan dijaga keberadaanya kemudian dengan mudah ditinggalkan dan disia-siakan seperti barang “rongsokan” yang tidak lagi berguna. Hal ini menjadikan Bahasa Indonesia berada dititik nadir dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menganti Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Inggris, Mandarin, Prancis, Belanda dan lain sebagainya.
Dampak dari masuknya budaya asing ini terlihat jelas dari percakapan sehari-hari mulai dari murid Sekolah Menengah Atas sampai pada para akademisi di berbagai universitas, munculnya berbagai slogan-solgan berbahasa asing, papan nama; pamflet; stiker; sampai iklan yang memakai bahasa asing, dan kebanggaan mengenakan semua yang bertuliskan bahasa asing.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang masalah perubahan bangsa Indonesia yang sering mengkaitkan dirinya dengan bahasa asing sehingga menggeser peranan Bahasa Indonesia terkini, saya akan mencoba untuk menelaah jauh kebelakang dimulai dengan sejarah perkembangan Bahasa Indonesia, perubahan-perubahannya, dan dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan hingga ke zaman “ra nggenah” (jawa), sekarang.
B. Periode Bahasa Indonesia
Salah satu artefak budaya adalah bahasa, yang masih mengalami perubahan; pengadopsian; serta penyempurnaan, yang merupakan suatu karakteristik suatu daerah maupun negara. Setiap bahasa, yang telah menjadi ciri khas bangsa, ternyata mempunyai sejarahnya masing-masing. Begitu juga dengan Bahasa Indonesia, mengalami pembentukan, perubahan, penyempurnaan hingga menjadi bahasa pemersatu di nusantara Indonesia. Akan tetapi, sekarang, Bahasa indonesia telah mengalami pengkikisan yang akut dimana masuknya budaya asing dari seluruh dunia, terutama negara barat, mengakibatkan munculnya bahasa campuran antara Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti Inggris.
Oleh karena itu, untuk mengetahui permasalahan budaya tersebut sebaiknya kita melihat jauh kebelakang sejarah Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
a. Masa kerajaan
Bahasa masyarakat pada masa kerajaan bukalah seperti Bahasa Indonesia yang kita pakai sehari-hari, melainkan menggunakan campuran antara Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Sanskerta. Penggunaan bahasa ini dibuktikan dengan temuan beberapa prasasti, seperti:
· Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Selatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
· Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatan raja.
· Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html)
Dari berbagai bukti prasasti yang ditemukan di berbagai daerah ini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Sriwijawa memang benar ada dan penggunaan Bahasa Melayu dan Sansekerta dimungkinkan dijadikan bahasa sehari-hari pada masa itu.
b. Masa Kolonial
Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang luas dan mempunyai sumber daya alam yang melimpah, terutama rempah-rempah, yang menarik perhatian negara Belanda, pada 20 Maret 1602, untuk mendirikan sebuah usaha dagang di Indonesia, guna membeli rempah-rempah dari masyarakat Indonesia dan menjualnya kembali ke negara-negara eropa, yaitu VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Ternyata belanda merasa nyaman dengan memperoleh keuntungan dari berdagang di Indonesia sehingga hal ini membuat belanda hampir 200 tahun yaitu sampai pada tahun 1799.
(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html)
Ternyata dalam perkembangannya VOC dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya di Indonesia, karena terjadinya korupsi besar-besaran, sehingga VOC di ambil alih oleh kerajaan belanda dan menggantinya dengan menjadi suatu pemerintahan kolonial dengan memakai nama Nederlandsche OOst-Indie (India Belanda). Dari sinilah munculnya pengaruh-pengaruh serta perubahan di tubuh Bahasa Melayu Indonesia, yang diantaranya bisa di uraikan sebagai berikut:
· Pada tahun 1845, Kolonial Belanda membuat suatu kebijakan yaitu dengan membuat beberapa sekolah di India Belanda, yang di sahkan secara resmi oleh Ratu Belanda pada tahun 1901, sebagai Politk Etis dari tanggungjawab kepada India Belanda karena telah mengeruk sumber daya alam selama beratus-ratus tahun.(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html)
Akan tetapi sebagian sekolah ini hanya bisa dinikmati oleh kaum Priyayi pada waktu itu, misalnya: anak bupati dan pembersar lainnya. Beberapa sekolah tersebut antara lain seperti:
· ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School).
· HBS (Hogere Burger School)
· Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School)
· Sekolah Desa (Volksch School)
· Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School)
· Sekolah Peralihan (Schakel School)
· MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
· Stovia (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen) (http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul)
Dari sekolah-sekolah inilah, para pembesar Indonesia didik, sehingga ini juga yang memungkinkan mereka sering menggunakan bahasa Belanda dari pada Bahasa Indonesia, karena dalam sehari-harinya belajar-mengajar menggunakan bahasa Belanda. “Bahasa Belanda digunakan sebagai sebuah bahasa resmi di Nusantara, ketika Belanda menjajah sebagian wilayah kepulauan ini.”
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belanda_di_Indonesia).
· Tahun 1865, Bahasa Melayu Riau diberlakukan sebagai bahasa resmi kedua setelah Bahasa Belanda.
· Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
· Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.
(http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html).
Dari serangkaian sejarah pada masa inilah merupakan dimulainya pembelajaran bahasa asing kepada bangsa Indonesia, yang membentuk dan mengakar sampai sekarang bahwa orang yang bida belajar bahasa asing merupakan seseorang yang derajatnya lebih tinggi sama seperti orang Belanda yang selalu dihormati dan dimulyakan. Hal positif dari ini adalah bangsa Indonesia menjadi orang-orang yang terpelajar yang mengerti tentang permasalahan konolnial, walaupun tujuan belanda tidak demikian. Tujuan Belanda pada mulanya mendirikan sekolah hanyalah untuk memantapkan administrasi pemerintahan yang memerlukan tenaga terdidik. Namun, semakin cerdasnya bangsa indonesia kita menjadis adar bahwa bangsa kita hanya dimanfaatkan hanya untuk menguatkan pengaruh bangsa belanda di indonesia.
(http://qalbinur.wordpress.com/2008/04/01/sejarah-perkembangan-pendidikan-barat-di-indonesia-di-jaman-hindia-belanda/)
c. Masa Kemerdekaan
Masa ini merupakan awal dari terbentuknya Bahasa Indonesia dimana dahulu bahasa Melayu digunakan sebagian besar bangsa indonesia dan bahasa Belanda banyak digunakan oleh kaum priyayi dan terpelajar Indonesia. Pada masa kemerdekaan ini ada beberapa hal yang mungkin dianggap penting dalam perumusan Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang resmi, diantaranya sevagai berikut:
· Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
· Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
· Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belanda_di_Indonesia)
Dari daftar rangkaian peristiwa di atas, dapat dikatan bahwa Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara Indonesia yang menajadi kebanggaan dan sebuah niatan untuk menghilangkan sejarah kelam dari penjajahan Belanda yang ada di Indonesia. Jika saja yang menjadi bahasa resmi merupakan bahasa Belanda, karena melihat sekitar 350 tahun menjajah Indonesia, mungkin Negara Indonesia selalu dibayang-bayangi oleh sejarah kolonial dan selalu rendah diri.
Walaupun demikian, sesuatu peristiwa menarik yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada masa Kemerdekaan belum bisa lepas dari pengaruh Bahasa Belanda, yaitu: “Pada tanggal 19 September 1945, Sukarni, dahulu menjadi anggota perumusan Sumpah Pemuda yang merumuskan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Persatuan, membuat suatu gerakan yang bernama Van Actie, yaitu menggalang masyarakat untuk mengukuhkan Soekarno dan Hatta menjadi presiden dan Wakil presiden Indonesia.” (www.pandji.com/bahasainggris)
d. Masa Kolonial Baru
Setelah hampir 65 tahun sejak 17 Agustus 1945 negara Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, apakah bangsa ini sudah benar-benar “medeka”? jawabannya adalah belum. Setelah lepas dari kolonial lama, bangsa Indonesia memasuki bentuk “penjajahan baru”, dimulai sejak lengsernya pemerintahan Orde Baru, yaitu penjajahan budaya.
Setelah runtuhnya “kerajaan” Orde Baru pada tahun 1998, masyarakat Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan bila perlu melakukan “slametan” besar-besaran di berbagai daerah. Bangsa Indonesia merasa sudah bebas dari kungkungan masa lalu yang mencekam dan merasa berhak untuk melakukan apa saja dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Akibatnya masuknya budaya asing, melalui film; musik; berita; dan ideologi, tidak lagi dipandang sebagai “tamu” yang harus diwaspadai setiap waktu melainkan di sambut dengan ramah sehingga menimbulkan konsumsi besar-besaran terhadap budaya asing.
Secara umum, setelah lepas dari Kolonial Belanda, Bangsa Indonesia kembali di jajah oleh bangsa-bangsa barat, terutama Amerika dan Inggris. Adanya jargon-jargon Globalisasi dan Bahasa Internasional, Bahasa Inggris, menjadikan bangsa Indonesia merasa harus mengadopsi budaya asing dan mempelajari. Celakanya, pola pikir ini juga di terapkan oleh pemerintah dan instansi pendidikan dengan melakukan pembelajaran budaya asing, terutama mengenai bahasa, tanpa adanya peringatan dengan tegas mengenai batasan-batasan yang harus dilakukann dan tidak melupakan untuk selalu bangga dengan bahasa sendiri.
Memang tidak ada yang salah jika kita mempelajari budaya dan bahasa asing, akan tetapi jika budaya dan bahasa asing tersebut kemudian menjadi tolak ukur dan gaya hidup yang diidam-idamkan oleh masyarakat, karena adanya pembentukan karakter tersebut, maka budaya lokal yang dahulu menjadi kebanggaan lambat-laun hanya menjadi dongeng.
Dampak ini, lebih parah, dikarenakan adanya kekuasaan baik dari pemerintah Indonesia maupun dari desakan bangsa asing. Disatu sisi, pemerintah dengan gencar mensosialisasikan untuk mempelajari Bahasa Internasional, Bahasa inggris, untuk menghadapi zaman globalisasi, walaupun pengertian globalisasi sendiri susah untuk didefinisakan secara pasti. Dan disisi yang sama, masuknya berbagai jenis musik dan film barat yang berbahasa Inggris menjadi “makanan” sehari-hari masyarakat Indonesia.
Dan akhirnya, masyarakat lebih bangga menggunakan bahasa Inggris dalam kata, istilah, dan ungkapan asing, walaupun hal tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini membuat kita seolah-olah kembali lagi pada masa kolonial Belanda dahulu, di mana orang-orang bangga menggunakan bahasa Belanda ketimbang bahasa Melayu, karena dapat menaikan status sosial dan terlihat terpelajar.
C. Krisis Identitas
Setelah kita melihat perkembangan Bahasa Indonesia mulai dari masa kerajaan, yaitu di mana bangsa Indonesia masih memakai Bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, kerajaan maupun dalam bahasa sehari-hari; masa kolonial, dimulainya adanya pergeseran bahasa menjadi bahasa Belanda di mana orang-orang terpelajar merasa harus dapat berbahasa Belanda sekaligus menciptakan citra terpelajar karena berbahasa Belanda; masa kemerdekaan, merupakan babak baru setelah lepas dalam rantai kolonial dalam menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan walaupun pada kenyataannya masih banyak para tokoh yang masih senang dan merasa harus berbasa Belanda dalam berpidato dan berbincang sehari-hari; masa kolonial baru, pada masa ini bangsa Indonesia masuk dalam suatu bentuk kolonial baru yaitu kolonial Bahasa Inggris.
Setelah kita melihat serangkaian tadi hal ini seperti seekor mangsa yang telah lepas dari mulut singa ternyata masuk kembali masuk ke mulut buaya. Tentunya tidak berlebihan jika saya mengatakan demikian, karena kenyataannya, jika kita melihat keadaan sekarang banyak orang yang merasa bangga jika sudah berbahasa Inggris, bangga jika status di facebook atau twitter memakai bahasa Inggris, bangga jika berbicara dengan teman memakai istilah bahasa inggris, bangga jika telah membenarkan seseorang yang salah dalam berbahasa Inggris, bangga jika orang mengganggapnya seorang yang terpelajar, bangga jika telah melakukan test masuk perguruan tinggi dengan memakai bahasa Inggris, dan kebanggaan semu lainnya.
Bangsa ini telah terjangkit “penyakit akut” yaitu krisis identitas. Malu jika identitasnya berbau Indonesia dan banga jika identitasnya dibawah naungan barat. Mulai dari bertebarannya iklan yang berbahasa Inggris sampai menjamurnya slogan-slogan bahasa asing baik dari akademisi pendidikan maupun pemerintah yang tidak jelas artinya, dari penamaan produk sampai pemberian nama anak dengan memakai nama asing, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai tes masuk Universitas diwajibkan memakai bahasa Inggris dan dari sampai yang lain.
Saya melihat adanya kekuasaan yang menjadikan bahasa Inggris menjadi bahasa yang sering kita pakai sekarang. Ada tiga kekuasaan yang sangat menentukan dalam penggunaan bahasa Inggris di negara ini, yaitu:
1. Negara-negara maju
Peran negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris sangat besar. Mereka “melantunkan” dengan gencar jargo-jargon seperti globalisasi, Bahasa Internasional dan gaya hidup yang bertujuan supaya produk-produk mereka seperti film, musik, model pakaian sampai dengan perabot rumah tangga dan produk berstandar Amerika atau Eropa lainnya dapat dengan mudah diterima oleh negara-negara berkembang. Adaya jargon tersebut ternyata hanya untuk kepentingan distribusi “produk-produk” mereka di negara ketiga sehingga negara ketiga hanya untuk pembuangan hasil produk mereka tanpa bisa mengelak dan terus mengkonsumsi dengan adanya rasa bangga dari sang pemakai.
2. Pemerintah Indonesia
Ternyata permasalahan pemakaian bahasa asing ini, tidak lepas dari peran dosa pemerintah kita yang dengan bangga menyelenggarakan, berbagai jenis kegiatan bahkan masuk pada kurikulum sekolah sampai universitas, pemakaian bahasa asing tanpa diimbangi dengan menumbuhkan rasa cinta berbahasa Indonesia. Akibatnya generasi muda enggan untuk belajar bahasa Indonesia karena telah merasa bisa dan terbiasa dengan bahasa Indonesia dan berlomba-lomba untuk belajar bahasa asing serta budaya mereka karena merasa terpelajar dan “gaul” jika memakai bahasa asing.
3. Orang tua
Peran orang tua dalam keluarga menurut saya sangat menentukan juga dalam pengkonsumsian bahasa asing. Anak-anak sejak usia dini dimasukan ke sekolah-sekolah yang bertaraf internasional dengan alasan supaya si anak menjadi pintar dan siap menjalani tantangan di jaman globalisasi. Akan tetapi di sisi lain ternyata, hal ini menjadi suatu kesombongan yang diinginkan orang tua jika mereka berhadapan dengan sanak saudara, kolega bahkan kepada tetangga disekitar rumah. Para orang tua merasa bangga jika ditanya dimana anaknya sekolah dan bisa berbahasa apa saja? Bahkan para orang tua yang berasal dari suatu daerah tertentu yang mempunyai bahasa daerah, merasa malu jika harus mengajarkan bahasa daerah dan menjadi keharusan untuk berkomunikasi di dalam rumah menggunakan bahasa Inggris.
D. Teori Indentitas dan Bahasa
Menurut saya, adanya pencarian sebuah identitas merupakan sebuah masalah yang digambarkan masyarkat Indonesia sekarang. Salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi baik secara resmi mupun dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan identitas sendiri diartikan sebagai:
“sebuah esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup.” (Chris Barker, “Cultural Studies” Teori dan Praktek, 2004: 170)
Sehingga masalah penggunaan bahasa asing oleh bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai gaya hidup, selera kelas atas dan status sosial yang membedakan mereka dengan orang lain yang tidak memakai bahasa asing. Hal ini juga disinggung oleh Weeks, dalam Chris Barker, “Cultural Studies” Teori dan Praktek, 2004: 172, yang menyatakan bahwa:
“Identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain.”
Ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang tidak mudah melupakan sejarah yaitu masih beranggapan bahwa bahasa orang asing merupakan bahasa yang bisa mengangkat harkat dan martabat diri dengan belajar dari Belanda. Menjadi orang lain, seperti Belanda, merupakan suatu identitas yang diidam-idamkan. Sehingga sekarang, setelah merdeka, masyarakat berlomba-lomba mencari identitas baru lagi yaitu dengan mempelajari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Kegilaan bahasa Inggris telah membuat bangsa ini sedikit-demi sedikit melupakan bahasannya sendiri yang sangat mengkhawatirkan bagi berlangsungnya persatuan suatu bangsa.
Saya pribadi sangat mengkhawatirkan nasib Bahasa Indonesia 30-50 tahun mendatang, apakah Bahasa Indonesia akan diganti oleh Bahasa Inggris, jika jawabannya adalah ya, maka hal ini merupakan , yang saya pinjam dari Bu Risa, suatu bentuk “penghianatan” terhadap sumpah pemuda dan cita-cita luhur budaya Indonesia.
Karena bahasa merupakan sebuah bentuk karakteristik budaya yang harus dibanggakan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Hal ini diperjelas oleh Ihroni, dalam bukunya Engkus Kuswarno “Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, 2008: 9, meyatakan bahwa:
“bahasa merupakan wahana utama untuk meneruskan adat istiadat dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.”
Jadi, apakah kita sudah merdeka?
DAFTAR PUSTAKA
· Barker, Chris. “Cultural Studies”: Teori dan Praktek. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
· Kuswarno, Engkus. “Metode Penelitian Komunikasi”: Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran, 2008.
· http://edy-andra.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html
(Pukul 21.12 WIB, Tanggal 10-10-2010)
· www.pandji.com/bahasainggris
(Pukul 22.30 WIB, Tanggal 10-10-2010)
· http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul
(Pukul 22.42 WIB, Tanggal 22-10-2010)
· http://qalbinur.wordpress.com/2008/04/01/sejarah-perkembangan-pendidikan-barat-di-indonesia-di-jaman-hindia-belanda/
(Pukul 22.45 WIB, Tanggal 22-10-2010)
· http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belanda_di_Indonesia
(Pukul 22.57 WIB, Tanggal 22-10-2010)
PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Ahmad Rosihan
NPM : 1006797591
Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik
Jurusan : Ilmu Komunikasi (S2)
Universitas Indonesia
Menyatakan bahwa, pengambilan tema dari tugas ini berdasarkan diskusi kelompok pada tanggal 21 Oktober 2010 serta hasil tulisan ini merupakan hasil saya sendiri dan tidak menjiplak maupun memplagiat, adapun pengambilan hasil tulisan dari orang lain saya sertakan rujukan atau sumbernya. Jika saya ternyata terbukti menjiplak atau meplagiat dari hasil orang lain dan tidak mnyebutkan sumber asli tulisan tersebut maka saya siap untuk diberi sangsi untuk membuat ulang tugas ini.
Jakarta, 26 Oktober 2010
Penulis
Ahmad Rosihan
1006797591
2 komentar:
23 November 2010 pukul 08.07
hahaha, surat pernyatannya juga di posting...
tapi maksih banyk buat "penjaga makam" yang udah nerima tulisan ini....
semoga terus berlanjut...
23 November 2010 pukul 18.21
aduhh iya lupa saya mas.. knapa ada surat pernyataanya ya hahaha
Posting Komentar